Psikologi
Eksistensial
Eksistensial
dan psikologi memiliki hubungan yang sangat rumit dan penuh
tantangan.Orang-orang yang merintis jalan ke arah terciptanya hubungan antara
eksistensialisme dan psikologi adalah mereka yang bergerak di bidang
psikoterapi yaitu Ludwig Binswanger dan Medard Boss. Sistem psikoterapi yang
dikembangkan berdasarkan konsep-konsep ontologi Heidegger dikenal dengan
analisiss eksistensial. Selain Binswanger dan Boss terdapat seorang tokoh yang
menjadi pelopor penerapan eksistensialisme dalam praktek psikoterapi, yakni
Viktor Frankl yang mengembangkan terapi eksistensial yang disebut logoterapi.
Eksistensialisme
juga tidak dapat dipisahkan dari fenomenologi. Hubungan antara eksistensialisme
dan fenomenologi tidak hanya ditandai oleh kesamaan historis, tetapi ditandai
juga oleh pengadopsian metode fenomenologi oleh para eksistensialis. Karena
psikologi eksistensial menggunakan metode fenomenologi, maka oleh kritikus
didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan empiris tentang keberadaan manusia yang
mengunakan metode analisis fenomenologis (Hall & Lindzey,1970).
Para
tokoh eksistensialisme menolak eksistensialisme sebagai suatu sistem di dalam
filsafat, tetapi mereka lebih suka menyebut eksistensialisme sebagai suatu
sikap atau pendekatan filosofis tehadap realitas, khususnya realitas
manusia.Eksistensialisme memandang subjek dan objek atau manusia dan dunia
sebagai suatu kesatuan yang menjalin relasi dialektis. Para ahli psikologi
eksistensialis memusatkan perhatian pada kondisi-kondisi dasar manusia dan
memandang manusia sebagai pribadi. Karena alasan tersebut psikologi
eksistensial menentang pendekatan psikologi yang memandang dan memperlakukan
manusia sebagai objek yang bisa dimanipulasi, dikendalikan dan diatur seperti
memperlakukan hewan-hewan percobaan di dalam laboratorium. Karena perlakuan
yang demikian, menurut para ahli psikologi eksistensial akan menghambat manusia
dalam mencapai kehidupan yang sungguh-sungguh dan manusiawi.
2.
Konsep-konsep
Dasar dan Tema-tema Eksistensialisme
Para
tokoh eksistensialisme telah mengembangkan sejumlah konsep dasar dan menggumuli
sejumlah tema yang berkisar pada keberadaan manusia berikut kondisi atau ciri yang
mereka pandang fundamental pada manusia. Berikut ini uraian mengenai
konsep-konsep dasar dan tema-tema eksistensialisme.
A. Konsep-konsep
Dasar
a) Ada
dan Nonada
Ada dan nonada menurut eksistensialis
merupakan gejala dasar dari keberadaan manusia.
Ada dan nonada merupakan dua dimensi yang saling berkaitan dalam memberi nuansa
yang tegas pada keberadaan manusia. Ada yaitu ukuran bagi keberadaan manusia.
Dengan meng-ada manusia hadir dan menampakkan diri, aktif dan berproses.
Sedangkan nonada adalah ukuran bagi ketiadaan manusia. Dalam nonada manusia
melakukan negasi atas keberadaannya dan mengalami dirinya sebagai objek.
b) Ada-dalam-dunia
Konsep ada-dalam-dunia menunjuk kepada
realitas dasar bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya di dalam
dunia sambil merancang, mengolah atau membangun dunianya itu. Keberadaan dan
perkembangan manusia tidak terlepas dari keberadaan dan perkembangan dunia.
Manusia akan berkembang jika dia mengembangkan dunianya. Artinya, manusia di
dunia ini tidak hanya berdiam diri tetapi selalu berusaha untuk melakukan
segala sesuatu untuk kehidupannya.
c) Relasi
Aku-Kamu
Martin Buber (1970) mengembangkan konsep
relasi Aku-Kamu untuk menggambarkan relasi antar pribadi yang sejati. Dalam hal
ini, individu mampu memberikan penghargaan kepada individu yang lain, mamahami
bahwa setiap individu memiliki pikiran, perasaan, dan keinginannya sendiri.
Sehingga individu akan bersedia memberikan empati kepada individu lain dalam
relasinya. Kondisi seperti itu akan menciptakan relasi antar pribadi yang
ideal.
d) Intensionalitas
Intensionalitas adalah konsep
eksistensialme yang mengungkapkan bahwa kejadian-kejadian mental tidak muncul
secara kebetulan, yang berarti ada hal-hal yang muncul atau terjadi sebelumnya.
Para eksistensialis juga menggunakan konsep intensionalitas untuk menerangkan
persepsi. Bahwa individu akan mempersepsi suatu hal apabila ada intensi dalam
dirinya kepada suatu hal tersebut. Sebaliknya jika individu tidak memiliki
intensi kepada sesuatu, maka ia tidak akan mempersepsi hal itu. Para
eksistensialis yakin bahwa apa dan bagaimana persepsi individu terhadap suatu
hal sedikit banyaknya dipengaruhi oleh intensinya terhadap hal tersebut.
e) Keberadan
otentik dan tidak otentik
Dalam keberadaan otentik individu
sanggup mengukuhkan dirinya tanpa mengingkari keniscayaan-keniscayaan hidup,bahwa
dirinya harus membuat keputusan yang vital bagi hidupnya, bahwa dirinya bisa
mengalami isolasi dan ketidakbermanaan dan menyadari bahwa orang lain itu
memiliki tujuan-tujuan sendiri. Sedangkan dalam keberadaan tidak otentik
individu mengingkari salah satu dimensi keberadaannya itu. Individu
menghindarkan diri dari keniscayaan-keniscayaan hidup seperti kematian,
isolasi, ketidakbermaknaan, keharusan memilih dan memikul tanggung jawab.
f) Kesadaran
Diri
Menurut para eksistensialis, kesadaran
diri adalah kapasitas yang memungkinkan manusia hidup sebagai pribadi yang utuh
dan penuh yang mana individu tersebut mampu mengamati dirinya sendiri, mampu
menempatkan diri dalam waktu, mampu menempatkan diri dalam dunia orang lain dan
mencoba memahami orang lain, dsb.
g) Kebebasan
dan Tanggung Jawab
Para eksistensialis menekankan kebebasan
sebagai ciri yang esensial bagi manusia. Manusia memiliki kebebasan untuk
membuat putusan-putusan atau memilih tindakan-tindakan dalam rangka membentuk
kehidupan atau keberadaan dirinya, tetapi manusia juga harus bertanggung jawab
atas putusan-putusan atau tindakan-tindakannya tersebut.
B.
Tema-tema
Eksistensialisme
a) Kebersamaan,
cinta, dan pertentangan
Kebersamaan bukan hanya suatu realitas melainkan
sesuatu yang sudah seharusnya ada karena di dunia ini manusia tidak bisa hidup
sendiri tanpa orang lain. Kebersamaan akan bermakna apabila dijalani sebagai
hubungan kerjasama dan sebagai puncaknya dijalani dalam bentuk hubungan cinta
yang sejati, dimana antar individu itu saling membuka diri, saling percaya dan
terlibat. Tetapi dalam pandangan Sartre, inti hubungan manusia itu bukan
kerjasama tetapi pertentangan.
b) Kesepian
dan Keterasingan
Para eksistensialis percaya bahwa
manusia mengalami kesepian karena jiwanya kosong, mengalami keterputusan dengan
sesama,alam dan Tuhan sehingga hanya berhubungan dengan dirinya sendiri. Karena
tidak ada kontak dengan sesama dan juga tidak dapat menemukan kepuasan dalam
berhubungan dengan dirinya sendiri seringkali ia merasa terasingkan, bukan saja
merasa asing terhadap sesama, tetapi juga terhadap dirinya sendiri.
c) Kematian
Kematian merupakan suatu hal yang tidak
dapat dihindari oleh manusia. Menurut Heidegger, manusia akan dapat hidup lebih
otentik dan bahagia apabila manusia itu dapat menerima dengan tulus atas
kematian itu. Frankl ( 1968, 1984 ) melihat kematian sebagai landasan bagi
manusia untuk menciptakan kehidupan yang bermakna.
3. Teori Kepribadian dan Psikopatologi
Dalam
psikologi eksistensial terdapat sejumlah teori kepribadian dan psikopatologi
yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh yang berbeda. Dalam pembahasan berikut ini
mengungkap teori-teori kepribadian dan psikopatologi dari Binswanger dan Boss,
Rollo May, Viktor Frankl, dan Ronald Laing.
A. BINSWANGER
dan BOSS
Binswanger
dan Boss adalah 2 orang psikologi terapis pengembang teori dan praktek terapi eksistensial yang disebut
analisis eksistensial. Berikut inti dari teori kepribadian Binswanger dan Boss
:
1. Taraf-taraf
dunia dan keberadaan
Ada 3 taraf dunia tempat manusia
meng-ada, yakni :
ü Dunia
fisikal atau biologis. Dalam cara berelasi dengan alam atau
dunia fisikal, setiap individu memiliki persepsi yang berbeda tentang alam,
misalnya individu satu memandang laut sebagai sumber bahaya sehingga akan
selalu menghindari laut, sementara individu yang lain mempersepsi laut sebagai tempat
yang ideal untuk berolahraga air sehingga merasa senang berada di laut.
ü Dunia
manusia atau sosial. Dalam berelasi atau meng-ada di dalam
dunia sosial juga berbeda persepsi masing-masing individu. Ada individu yang
mempersepsi bahwa orang lain itu baik, bisa saling mengerti, menghargai dan
membantu sehingga individu dalam dunia sosialnya bersedia dan sanggup untuk
menjalani hubungan dengan orang lain. Individu yang lain ada yang mempersepsi
bahwa adanya orang lain itu hanya untuk menilai, menghakimi, atu mengobjekkan
dirinya sehingga individu tidak akan mampu berhubungan dengan orang lain dan
menghindarkan diri dari pergaulan dengan orang lain. Ada pula individu yang
senantiasa mengantisipasi apa yang dipikirkan orang lain mengenai dirinya
sehingga ia senantiasa bertingkah laku yang disukai orang lain.
ü Dunia
diri sendiri. Individu menjalani keberadaan sebagai
subjek yang merefleksikan, mengevaluasi, menilai atau menghakimi dirinya
sendiri. Banyak individu yang menghindari introspektif, karena hal itu akan
menyakitkan namun ada individu yang terus menerus introspektif dengan akibat
mereka kekurangan kemampuan untuk meng-ada di dalam dunia sosial secara
adekuat.
2. Perkembangan
Keberadaan
Perkembangan keberadaan bertumpu pada 1)
Konsep pemenjadian, bahwa diri manusia selalu berada dalam proses perkembangan
menuju taraf yang lebih tinggi dengan kualitas yang berebda dari taraf
sebelumnya. 2) Konsep ada di luar dunia menyatakan bahwa setiap manusia itu
mempunyai kemungkinan-kemungkinan atau potensi bawaan yang dapat direalisasikan
sehingga dapat mencapai kehidupan dan keberadaan yang otentik. Namun individu
itu sendiri memiliki kebebasan untuk memilih, menentukan dan memutuskan potensi
apa yang akan direlisasikannya. Manusia bebas untuk menentukan arah perkembangan
dirinya sendiri dan bebas untuk menentukan akan menjadi apa dan bagaimana
dirinya. Tentunya kebebasan yang dimiliki harus disertai dengan tanggung jawab
atas penentuan nasibnya sendiri.
3. Psikopatologi
Psikopatologi merupakan suatu fenomena
kehidupan historis yang bersumber pada ketidakmampuan individu menghadapi
kecemasan eksistensial, misalnya kematian secara konstruktif, ketidakmampuan
individu meng-ada dalam tiga taraf dunianya dan penghindaran individu dari
realisasi potensi bawaan yang dimiliki dalam dirinya.
B. ROLLO
MAY
1. Kekosongan,
kesepian, dan kecemasan
Menurut May ( 1953 ) kekosongan adalah
kondisi individu yang tidak mnegetahui lagi apa yang diinginkannya dan tidak
lagi memiliki kekuasaan tehadap apa yang terjadi dan dialaminya. Individu yang
tersaingkan oleh sesama dan dari diri sendiri selalu merasa kesepian, oleh
karena itu individu senantiasa menjalin kebersamaan dalam relasi yang intim
dengan orang lain. Individu mengalami kecemasan disebabkan karena individu
tersebut merasa bingung, siapa dirinya dan apa yang harus diperbuat. Kecemasan
itu sangat menyakitkan karena akan mengancam kesadaran diri.
2. Kesadaran
diri
Manusia yang memiliki kesadaran diri
yang tinggi yaitu manusia yang mampu mengamati dirinya sendiri dan membedakan
dirinya dengan orang lain, memiliki kemampuan dalam menempatkan dirinya dalam
masa kini, masa lampau, dan masa depan, mampu mempengaruhi perkembangan dirinya
dan orang lain dan mampu menempatkan diri dalam dunia batin sesamanya.
3. Mempertinggi
kesadaran diri
Langkah-langkah yang perlu diambil
individu untuk mempertinggi kesadaran diri yaitu dengan menemukan kembali
perasaan-perasaannya, mengenal keinginan-keinginan sendiri dan dengan menemukan
kembali relasi diri dengan aspek-aspek kesadaran.
C. VIKTOR
FRANKL
1.
Kebebasan Berkeinginan
Di dalam ruang noologis / dimensi
spiritual terletak kebebasan berkeinginan dari manusia. Dengan memasuki ruang
noologis manusia meninggikan martabatnya sebagai manusia, sebagai makhluk yang
hidupnya tidak dikuasai oleh ketentuan biologis dan psikologisnya.
2. Keinginan
pada makna
Keinginan kepada makna merupakan
keinginan yang utama yang tidak pernah padam pada manusia. Melalui penciptaan
makna bagi hidup berarti manusia mengembangkan kehidupannya dan membahagiakan
dirinya. Frankl memandang penciptaan makna sebagai tanggung jawab yang harus
dipikul secara individual.
3. Makna
Hidup
Makna hidup muncul ketika individu
memulai pematangan spiritual, yakni pada manusia pubertas. Manusia bisa
menemukan makna hidup tidak hanya melalui kehidupan keagamaan, tetapi bisa
melalui kerja, melalui pertemuan dengan keindahan dan kebenaran, melalui pertemuan
dan cinta dengan sesama dan melalui pengalaman-pengalaman.
4. Frustasi
Eksistensial dan Kehampaan Eksistensial
Individu yang mengalami frustasi
eksistensial dan kehampaan eksistensial yaitu mereka yang mengalami
ketidakberdayaan. Mereka tidak dapat menemukan makna penderitaan yang mereka
alami dan makna kematian yang mereka hadapi.
5. Neurosis
Noogenik dan Neurosis Kolektif
Neurosis Noogenik bersumber pada dimensi
spiritual yakni kehampaan eksistensial. Neurosis kolektif muncul pada individu
yang memiliki sikap pesimistis terhadap hidup, sikap fatal terhadap hidup,
konformisme dan kolektifisme ( mengingkari kepribadiannya sendiri ) dan
Fanatisme ( mengingkari kepribadian orang lain ).
D. RONALD
LAING
Dalam pembahasan ini
akan mengungkapkan pendekatan Laing terhadap psikopatologi, khususnya skizoprenia
yang bertumpu pada konsep-konsep eksistensialisme dan psikopatologi. Teori
ontologis skizoprenia dari Laing sejalan dengan teori ikatan ganda yang
menerangkan bahwa perlakuan yang tidak jelas dari orang tua(tidak membenci,tetapi
juga tidak mencintai) terhadap anaknya mengakibatkan si anak sukar memperoleh
kepastian tentang siapa dirinya dan bagaimana seharusnya ia bereaksi dengan
lingkungannya. Menurut Laing, individu yang secara ontologis tidak aman boleh
jadi akan mencoba mengatasi hidup dengan jalan meng-ada secara non personal,
seperti dalam bentuk sikap enggan, menarik diri, egosentris atau tak
memasyarakat, mengaku dirinya telah mati dan menampilkan bentuk-bentuk tingkah
laku yang bagi orang lain aneh sehingga akan diberi label skizoprenia.
4.
Teori
dan Praktek Psikoterapi
Ada
beberapa sistem psikoterapi yang berpendekatan eksistensial yaitu Analisis Eksistensial,
Logoterapi, dan Terapi Radikal.
A.
Analisis
Eksistensial
Dalam psikoterapi
analisis eksistensial memiliki tujuan ideal yang akan dicapai yaitu meningkatkan
kesadaran individu atau menjadi individu yang otentik, dengan harapan agar
konseli menyadari asek-aspek dunia maupun dirinya sendiri yang telah ditutupi
oleh ketidakotentikan. Dan tujuan kedua meningkatkan kemampuan memilih yaitu
memilih alternatif-altenatif tindakan yang mengarahkan pada perbaikan diri.
Para eksistensialis
percaya bahwa tiap-tiap individu akan mengalami konflik intrapersonal, konflik
interpersonal, konflik individu dengan lingkungan dan sebagainya. Dan analisis
eksistensial ini diarahkan untuk membantu individu menyelesaikan
konflik-konflik yang dialaminya.
Para terapis
eksistensial yakin bahwa relasi yang sungguh-sungguh dan terbuka akan
menjadikan konseli tidak bisa menyembunyikan cara meng-ada yang tidak otentik
dan mekanisme pertahanannya, menyadari kecemasan eksistensialnya serta akan
mampu memikul tanggung jawab.
B.
Logoterapi
Logoterapi memusatkan
perhatian terhadap permasalahan yang menyangkut pencarian manusia kepada makna.
Dalam proses terapeutik, logoterapi menekankan kesanggupan konseli untuk
memilih alternatif-alternatif tindakan atas perbaikan dirinya sendiri. Teknik
terapeutik oleh Frankl disebut intensi paradoksial.
Berikut
ini beberapa contoh penerapan teknik intensi paardoksial :
a) Kasus hidrofobia yang dialami seorang klien
selama 4 tahun, dimana ia selalu merasa gemetar dan keluar keringat tiap kali
berjabat tangan dengan atasannya. Frankl mengajukan saran kepada kliennya
supaya jika ia bertemu kembali dengan atasannya berusaha secara sengaja mengatakan
pada dirinya bahwa ia akan mengeluarkan keringat sebanyak-banyaknya jika bersalaman dengan atasannya yang sebelumnya
hanya sedikit. Dan hasilnya ternyata klien tidak berkeringat sedikitpun saat
bersalaman dengan atasannya.
b)
Kasus bakterofobia dan kompulsi mencuci
yang dialami ibu rumah tangga ditangani Frankl dengan mengajak ibu tersebut
menirukan apa yang dilakukannya dengan menggosok-gosokkan tangan ke lantai dan
kemudian berkata, ‘’Lihat, tangan saya menjadi kotor, tetapi saya tidak bisa
menemukan banyak bakteri !’’ dan kemudian ibu tersebut mau menirukannya dan selama
5 hari berikutnya gejala-gejala bakterfobia mulai menyusut dan akhirnya hilang
sama sekali.
c) Kasus
alkoholisme neurosis yang dialami D.F yang mana dengan minum secara eksesif
untuk mengatasi ketidakbermaknaan hidup sekaligus untuk mengatasi gejala
gemetaran tangan jika berada di depan orang lain. Dan tidak bisa mengangkat
piring atau gelas tanpa menumpahkan isinya jika makan atau minum di depan umum.
Gerz menganjurkan D.F agar secara sengaja berhumor menunjukkan gejala-gejala
itu di hadapan orang lain dengan mengatakan ‘’
Lihat, betapa ajaib getaran tanganku.’’ Dan ternyata dia tidak bisa
menggetarkan tangannya ketika berhadapan dengan orang lain.
Dari contoh kasus
diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan intensi paradoksial individu didorong
untuk melakukan sesuatu yang paradoks yakni mendekati sesuatu yang justru
ditakutinya dan yang selalu ingin dihindarinya.
C. Terapi Radikal
Di dalam terapi radikal ini, relasi terapis
dan klien diintefsikan dan tidak dibatasi. Perlakuan-perlakuan yang dilakukan
terapis tidak bersifat simbolis ( terbatas pada pemberian perhatian ) tetapi
sampai pada pengertiannya yang harfiah. Sehingga klien yang mengalami regresi akan
merasa di lahirkan kembali karena merasa diterima secara sehat oleh figur-figur
orang yang ada dalam kehidupannya.
5.
Metode
Fenomenologi dan Penelitian-Penelitian
Metode
yang mendasari penelitian psikologi eksistensial adalah metode fenomenologi yang berwujud analisis pengalaman
dalam bahasa pengalaman. Untuk menguji kevalidan uraian fenomenologis dapat
dilakukan melalui metode intrasubjektif yaitu dengan memperbandingkan
uraian-uraian tentang tingkah laku atau pengalaman yang sama yang muncul dalam
situasi yang berbeda. Dan apabila antara uraian satu dengan yang lain konsisten
maka uraian-uraian tersebut dikatakan valid. Metode ke 2 metode intersubjektif,
dimana beberapa orang penyelidik eksistensial membuat uraian tentang suatu
fenomena yang sama, jika dari uraian penyelidik satu dengan yang lain sama maka
uraian tersebut valid. Validitas juga bisa ditentukan secara eksperimental
dengan menguji hipotesis-hipotesis yang ditarik dari analisis fenomenologis.
Untuk
memperoleh gambaran mengenai analisis fenomenologis, Boss mengungkapnya melalui
analisis mimpi. Menurutnya, mimpi adalah bentuk lain dari meng-ada-dalam-dunia,
mimpi harus diterima secara utuh dengan isi dan maknanya dan bukan termasuk
dorongan, mekanisme, simbolisme, dan kompensasi-kompensasi yang dikemukakan
Freud.
Usaha
pengujian atas teori psikologi eksistensial dilakukan oleh Crumbaugh dan
Maholick melalui studi berpendekatan psikometrik dengan tujuan menentukan atau
memastikan adanya tipe neurosis baru yang disebut neurosis noogenik. Alat ukur
atau tes yang digunakan dalam studinya adalah tes PIL, kuesioner Frankl, A-V-L,
dan MMPI. Yang ke-2 dengan melakukan studi tentang sikap terhadap kematian yang
dikembangkan Herman Feifel. Feifel melaksanakan studinya tentang sikap terhadap
kematian dengan menggunakan subjek 315 orang. Dari hasil studinya tersebut
terdapat sikap terhadap kematian yang berwujud pemulian yang idealistis
terhadap kematian dengan melihat kematian sebagai prasyarat bagi kehidupan yang
sejati.
6.
Evaluasi
Terhadap
psikologi eksistensial, tokoh-tokoh psikolog behaviorisme menentang dan
mengkritiknya dengan keras. Sedangkan pihak yang bersimpati dan mendukung
terhadap psikologi eksistensial adalah tokoh-tokoh humanistik.
Kritik-kritik
terhadap psikologi eksistensial, pertama karena psikologi eksistensial yang
berakar pada filsafat dan tidak menyukai positivisme dan determinisme. Kedua,
bahwa psikologi eksistensial adalah psikologi yang tidak ilmiah. Ketiga, bahwa
psikologi eksistensial itu antiintelektual karena penggunaan pengetahuan
intuitif dan penggunaan bahasa yang puitis dan berselubung. Keempat, kritik
yang menyangkut konsep kebebasan yang mejelaskan bahwa manusia itu bebas untuk
memilih atau menentukan sendiri tingkah laku yang hendak dan perlu diungkapkan
atau tidak diungkapkannya. Kelima, bahwa psikologi eksistensial itu solipsistik
atau subjektivistik. Keenam, para tokoh psikologi eksistensial dituduh
menyelinapkan agama ke dalam psikologi karena dalam teorinya menggunakan
konsep-konsep keagamaan untuk menerangkan keberadaan dan pertumbuhan manusia.
Selain
kritik-kritik yang banyak ditujukan bagi psikologi eksistensial, namun ada
tokoh-tokoh psikologi lain yang mendukung psikologi eksistensial, yaitu :
a) Menurut
Maslow mempelajari psikologi eksistensial merupakan pengalaman yang menarik dan
konstruktif yang memperkaya, meluaskan, dan mempercermat pemikirannya tentang
manusia. Berikut ini beberapa kesan Maslow mengenai eksistensialisme :
Ø Eksistensialisme
menyediakan dasar filsafat yang selama ini dalam psikologi dirasakan kurang,
karena positivisme logis dinilai telah gagal.
Ø Inti
eksistensialisme yang penting bagi psikologi adalah eksistensialisme membahas
aktualitas dan potensialitas manusia.
Ø Eksistensialisme
menghadirkan gambaran ideal dari pertumbuhan manusia yakni pribadi otentik.
Ø Eksistensialisme
banyak mempersoalkan masalah yang justru diabaikan oleh para ahli psikologi,
yakni masalah tanggung jawab, konsep keberanian dan kehendak.
Ø Dsb.
b) Carl
Rogers mengevaluasi psikoterapi yang berpendekatan eksistensial dengan
membandingkannya dengan pendekatan psikoterapi behaviorisme yang disebut ‘aliran
objektif‘. Terapis dalam psikoterapi yang beraliran objektif memberi penguatan
atas pernyataan-pernyataan klien yang mengekspresikan perasaan-perasaan yang
positif dari si klien. Sedangkan pada aliran eksistensial terapis tampil
sebagai pribadi yang riel sehingga klien bisa menemukan apa yang riel di dalam
dirinya sendiri. Dan dari hasil terapi diharapkan klien menjadi pribadi yang
otonom yang mampu meng-ada sebagaimana
seharusnya ia meng-ada. Menurut Rogers pada aliran eksistensial lebih mampu
menemukan aspek-aspek manusia yang unik dari terapi daripada pendekatan
behaviorisme yang terapinya terdiri atas apa yang diketahui dari proses belajar
pada hewan.
c) Gordon
Allport
Menurut Allport
eksistensialisme telah memperdalam konsep-konsep tentang manusia seperti identitas,
pilihan, kematian, tanggung jawab, futuritas, mencapai makna hidup, sehingga
dengan demikian eksistensialisme telah merintis jalan kearah terciptanya psikologi
manusia yang universal.
Allport memandang bahwa
Feifel telah menghadirkan studi yang baik yang melibatkan variabel yang
tersisihkan dari psikologi yaitu kematian dan dengan tepat menyebut kematian
sebagai relevant variabel. Menurut
Allport, pandangan atas kematian itu unik dan individual.
DAFTAR PUSTAKA
Koeswara.E.
1987. Psikologi Eksistensial Suatu
Pengantar. Bandung : PT. ERESCO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar