Jumat, 04 Mei 2012

Psikologi Eksistensial



 Psikologi Eksistensial

Eksistensial dan psikologi memiliki hubungan yang sangat rumit dan penuh tantangan.Orang-orang yang merintis jalan ke arah terciptanya hubungan antara eksistensialisme dan psikologi adalah mereka yang bergerak di bidang psikoterapi yaitu Ludwig Binswanger dan Medard Boss. Sistem psikoterapi yang dikembangkan berdasarkan konsep-konsep ontologi Heidegger dikenal dengan analisiss eksistensial. Selain Binswanger dan Boss terdapat seorang tokoh yang menjadi pelopor penerapan eksistensialisme dalam praktek psikoterapi, yakni Viktor Frankl yang mengembangkan terapi eksistensial yang disebut logoterapi.
Eksistensialisme juga tidak dapat dipisahkan dari fenomenologi. Hubungan antara eksistensialisme dan fenomenologi tidak hanya ditandai oleh kesamaan historis, tetapi ditandai juga oleh pengadopsian metode fenomenologi oleh para eksistensialis. Karena psikologi eksistensial menggunakan metode fenomenologi, maka oleh kritikus didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan empiris tentang keberadaan manusia yang mengunakan metode analisis fenomenologis (Hall & Lindzey,1970).
Para tokoh eksistensialisme menolak eksistensialisme sebagai suatu sistem di dalam filsafat, tetapi mereka lebih suka menyebut eksistensialisme sebagai suatu sikap atau pendekatan filosofis tehadap realitas, khususnya realitas manusia.Eksistensialisme memandang subjek dan objek atau manusia dan dunia sebagai suatu kesatuan yang menjalin relasi dialektis. Para ahli psikologi eksistensialis memusatkan perhatian pada kondisi-kondisi dasar manusia dan memandang manusia sebagai pribadi. Karena alasan tersebut psikologi eksistensial menentang pendekatan psikologi yang memandang dan memperlakukan manusia sebagai objek yang bisa dimanipulasi, dikendalikan dan diatur seperti memperlakukan hewan-hewan percobaan di dalam laboratorium. Karena perlakuan yang demikian, menurut para ahli psikologi eksistensial akan menghambat manusia dalam mencapai kehidupan yang sungguh-sungguh dan manusiawi.    

2.      Konsep-konsep Dasar dan Tema-tema Eksistensialisme
Para tokoh eksistensialisme telah mengembangkan sejumlah konsep dasar dan menggumuli sejumlah tema yang berkisar pada keberadaan manusia berikut kondisi atau ciri yang mereka pandang fundamental pada manusia. Berikut ini uraian mengenai konsep-konsep dasar dan tema-tema eksistensialisme. 
A.    Konsep-konsep Dasar
a)      Ada dan Nonada
Ada dan nonada menurut eksistensialis merupakan gejala dasar dari keberadaan   manusia. Ada dan nonada merupakan dua dimensi yang saling berkaitan dalam memberi nuansa yang tegas pada keberadaan manusia. Ada yaitu ukuran bagi keberadaan manusia. Dengan meng-ada manusia hadir dan menampakkan diri, aktif dan berproses. Sedangkan nonada adalah ukuran bagi ketiadaan manusia. Dalam nonada manusia melakukan negasi atas keberadaannya dan mengalami dirinya sebagai objek.
b)      Ada-dalam-dunia
Konsep ada-dalam-dunia menunjuk kepada realitas dasar bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya di dalam dunia sambil merancang, mengolah atau membangun dunianya itu. Keberadaan dan perkembangan manusia tidak terlepas dari keberadaan dan perkembangan dunia. Manusia akan berkembang jika dia mengembangkan dunianya. Artinya, manusia di dunia ini tidak hanya berdiam diri tetapi selalu berusaha untuk melakukan segala sesuatu untuk kehidupannya.
c)      Relasi Aku-Kamu
Martin Buber (1970) mengembangkan konsep relasi Aku-Kamu untuk menggambarkan relasi antar pribadi yang sejati. Dalam hal ini, individu mampu memberikan penghargaan kepada individu yang lain, mamahami bahwa setiap individu memiliki pikiran, perasaan, dan keinginannya sendiri. Sehingga individu akan bersedia memberikan empati kepada individu lain dalam relasinya. Kondisi seperti itu akan menciptakan relasi antar pribadi yang ideal.
d)     Intensionalitas
Intensionalitas adalah konsep eksistensialme yang mengungkapkan bahwa kejadian-kejadian mental tidak muncul secara kebetulan, yang berarti ada hal-hal yang muncul atau terjadi sebelumnya. Para eksistensialis juga menggunakan konsep intensionalitas untuk menerangkan persepsi. Bahwa individu akan mempersepsi suatu hal apabila ada intensi dalam dirinya kepada suatu hal tersebut. Sebaliknya jika individu tidak memiliki intensi kepada sesuatu, maka ia tidak akan mempersepsi hal itu. Para eksistensialis yakin bahwa apa dan bagaimana persepsi individu terhadap suatu hal sedikit banyaknya dipengaruhi oleh intensinya terhadap hal tersebut.
e)      Keberadan otentik dan tidak otentik
Dalam keberadaan otentik individu sanggup mengukuhkan dirinya tanpa mengingkari keniscayaan-keniscayaan hidup,bahwa dirinya harus membuat keputusan yang vital bagi hidupnya, bahwa dirinya bisa mengalami isolasi dan ketidakbermanaan dan menyadari bahwa orang lain itu memiliki tujuan-tujuan sendiri. Sedangkan dalam keberadaan tidak otentik individu mengingkari salah satu dimensi keberadaannya itu. Individu menghindarkan diri dari keniscayaan-keniscayaan hidup seperti kematian, isolasi, ketidakbermaknaan, keharusan memilih dan memikul tanggung jawab.
f)       Kesadaran Diri
Menurut para eksistensialis, kesadaran diri adalah kapasitas yang memungkinkan manusia hidup sebagai pribadi yang utuh dan penuh yang mana individu tersebut mampu mengamati dirinya sendiri, mampu menempatkan diri dalam waktu, mampu menempatkan diri dalam dunia orang lain dan mencoba memahami orang lain, dsb.
g)      Kebebasan dan Tanggung Jawab
Para eksistensialis menekankan kebebasan sebagai ciri yang esensial bagi manusia. Manusia memiliki kebebasan untuk membuat putusan-putusan atau memilih tindakan-tindakan dalam rangka membentuk kehidupan atau keberadaan dirinya, tetapi manusia juga harus bertanggung jawab atas putusan-putusan atau tindakan-tindakannya tersebut.

B.     Tema-tema Eksistensialisme
a)      Kebersamaan, cinta, dan pertentangan
Kebersamaan bukan hanya suatu realitas melainkan sesuatu yang sudah seharusnya ada karena di dunia ini manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Kebersamaan akan bermakna apabila dijalani sebagai hubungan kerjasama dan sebagai puncaknya dijalani dalam bentuk hubungan cinta yang sejati, dimana antar individu itu saling membuka diri, saling percaya dan terlibat. Tetapi dalam pandangan Sartre, inti hubungan manusia itu bukan kerjasama tetapi pertentangan.
b)      Kesepian dan Keterasingan
Para eksistensialis percaya bahwa manusia mengalami kesepian karena jiwanya kosong, mengalami keterputusan dengan sesama,alam dan Tuhan sehingga hanya berhubungan dengan dirinya sendiri. Karena tidak ada kontak dengan sesama dan juga tidak dapat menemukan kepuasan dalam berhubungan dengan dirinya sendiri seringkali ia merasa terasingkan, bukan saja merasa asing terhadap sesama, tetapi juga terhadap dirinya sendiri.
c)      Kematian
Kematian merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Menurut Heidegger, manusia akan dapat hidup lebih otentik dan bahagia apabila manusia itu dapat menerima dengan tulus atas kematian itu. Frankl ( 1968, 1984 ) melihat kematian sebagai landasan bagi manusia untuk menciptakan kehidupan yang bermakna.



3.      Teori Kepribadian dan Psikopatologi
Dalam psikologi eksistensial terdapat sejumlah teori kepribadian dan psikopatologi yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh yang berbeda. Dalam pembahasan berikut ini mengungkap teori-teori kepribadian dan psikopatologi dari Binswanger dan Boss, Rollo May, Viktor Frankl, dan Ronald Laing.

A.    BINSWANGER dan BOSS
Binswanger dan Boss adalah 2 orang psikologi terapis pengembang teori dan praktek       terapi eksistensial yang disebut analisis eksistensial. Berikut inti dari teori kepribadian Binswanger dan Boss :
1.      Taraf-taraf dunia dan keberadaan
Ada 3 taraf dunia tempat manusia meng-ada, yakni :
ü  Dunia fisikal atau biologis. Dalam cara berelasi dengan alam atau dunia fisikal, setiap individu memiliki persepsi yang berbeda tentang alam, misalnya individu satu memandang laut sebagai sumber bahaya sehingga akan selalu menghindari laut, sementara individu yang lain mempersepsi laut sebagai tempat yang ideal untuk berolahraga air sehingga merasa senang berada di laut.
ü  Dunia manusia atau sosial. Dalam berelasi atau meng-ada di dalam dunia sosial juga berbeda persepsi masing-masing individu. Ada individu yang mempersepsi bahwa orang lain itu baik, bisa saling mengerti, menghargai dan membantu sehingga individu dalam dunia sosialnya bersedia dan sanggup untuk menjalani hubungan dengan orang lain. Individu yang lain ada yang mempersepsi bahwa adanya orang lain itu hanya untuk menilai, menghakimi, atu mengobjekkan dirinya sehingga individu tidak akan mampu berhubungan dengan orang lain dan menghindarkan diri dari pergaulan dengan orang lain. Ada pula individu yang senantiasa mengantisipasi apa yang dipikirkan orang lain mengenai dirinya sehingga ia senantiasa bertingkah laku yang disukai orang lain.
ü  Dunia diri sendiri. Individu menjalani keberadaan sebagai subjek yang merefleksikan, mengevaluasi, menilai atau menghakimi dirinya sendiri. Banyak individu yang menghindari introspektif, karena hal itu akan menyakitkan namun ada individu yang terus menerus introspektif dengan akibat mereka kekurangan kemampuan untuk meng-ada di dalam dunia sosial secara adekuat.
2.      Perkembangan Keberadaan
Perkembangan keberadaan bertumpu pada 1) Konsep pemenjadian, bahwa diri manusia selalu berada dalam proses perkembangan menuju taraf yang lebih tinggi dengan kualitas yang berebda dari taraf sebelumnya. 2) Konsep ada di luar dunia menyatakan bahwa setiap manusia itu mempunyai kemungkinan-kemungkinan atau potensi bawaan yang dapat direalisasikan sehingga dapat mencapai kehidupan dan keberadaan yang otentik. Namun individu itu sendiri memiliki kebebasan untuk memilih, menentukan dan memutuskan potensi apa yang akan direlisasikannya. Manusia bebas untuk menentukan arah perkembangan dirinya sendiri dan bebas untuk menentukan akan menjadi apa dan bagaimana dirinya. Tentunya kebebasan yang dimiliki harus disertai dengan tanggung jawab atas penentuan nasibnya sendiri.
3.      Psikopatologi
Psikopatologi merupakan suatu fenomena kehidupan historis yang bersumber pada ketidakmampuan individu menghadapi kecemasan eksistensial, misalnya kematian secara konstruktif, ketidakmampuan individu meng-ada dalam tiga taraf dunianya dan penghindaran individu dari realisasi potensi bawaan yang dimiliki dalam dirinya.

B.     ROLLO MAY
1.      Kekosongan, kesepian, dan kecemasan
Menurut May ( 1953 ) kekosongan adalah kondisi individu yang tidak mnegetahui lagi apa yang diinginkannya dan tidak lagi memiliki kekuasaan tehadap apa yang terjadi dan dialaminya. Individu yang tersaingkan oleh sesama dan dari diri sendiri selalu merasa kesepian, oleh karena itu individu senantiasa menjalin kebersamaan dalam relasi yang intim dengan orang lain. Individu mengalami kecemasan disebabkan karena individu tersebut merasa bingung, siapa dirinya dan apa yang harus diperbuat. Kecemasan itu sangat menyakitkan karena akan mengancam kesadaran diri.
2.      Kesadaran diri
Manusia yang memiliki kesadaran diri yang tinggi yaitu manusia yang mampu mengamati dirinya sendiri dan membedakan dirinya dengan orang lain, memiliki kemampuan dalam menempatkan dirinya dalam masa kini, masa lampau, dan masa depan, mampu mempengaruhi perkembangan dirinya dan orang lain dan mampu menempatkan diri dalam dunia batin sesamanya.
3.      Mempertinggi kesadaran diri
Langkah-langkah yang perlu diambil individu untuk mempertinggi kesadaran diri yaitu dengan menemukan kembali perasaan-perasaannya, mengenal keinginan-keinginan sendiri dan dengan menemukan kembali relasi diri dengan aspek-aspek kesadaran.  

C.     VIKTOR FRANKL
1.         Kebebasan Berkeinginan
Di dalam ruang noologis / dimensi spiritual terletak kebebasan berkeinginan dari manusia. Dengan memasuki ruang noologis manusia meninggikan martabatnya sebagai manusia, sebagai makhluk yang hidupnya tidak dikuasai oleh ketentuan biologis dan psikologisnya.


2.      Keinginan pada makna
Keinginan kepada makna merupakan keinginan yang utama yang tidak pernah padam pada manusia. Melalui penciptaan makna bagi hidup berarti manusia mengembangkan kehidupannya dan membahagiakan dirinya. Frankl memandang penciptaan makna sebagai tanggung jawab yang harus dipikul secara individual.
3.    Makna Hidup
Makna hidup muncul ketika individu memulai pematangan spiritual, yakni pada manusia pubertas. Manusia bisa menemukan makna hidup tidak hanya melalui kehidupan keagamaan, tetapi bisa melalui kerja, melalui pertemuan dengan keindahan dan kebenaran, melalui pertemuan dan cinta dengan sesama dan melalui pengalaman-pengalaman.
4.    Frustasi Eksistensial dan Kehampaan Eksistensial
Individu yang mengalami frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yaitu mereka yang mengalami ketidakberdayaan. Mereka tidak dapat menemukan makna penderitaan yang mereka alami dan makna kematian yang mereka hadapi.
5.    Neurosis Noogenik dan Neurosis Kolektif
Neurosis Noogenik bersumber pada dimensi spiritual yakni kehampaan eksistensial. Neurosis kolektif muncul pada individu yang memiliki sikap pesimistis terhadap hidup, sikap fatal terhadap hidup, konformisme dan kolektifisme ( mengingkari kepribadiannya sendiri ) dan Fanatisme ( mengingkari kepribadian orang lain ).

D.    RONALD LAING
Dalam pembahasan ini akan mengungkapkan pendekatan Laing terhadap psikopatologi, khususnya skizoprenia yang bertumpu pada konsep-konsep eksistensialisme dan psikopatologi. Teori ontologis skizoprenia dari Laing sejalan dengan teori ikatan ganda yang menerangkan bahwa perlakuan yang tidak jelas dari orang tua(tidak membenci,tetapi juga tidak mencintai) terhadap anaknya mengakibatkan si anak sukar memperoleh kepastian tentang siapa dirinya dan bagaimana seharusnya ia bereaksi dengan lingkungannya. Menurut Laing, individu yang secara ontologis tidak aman boleh jadi akan mencoba mengatasi hidup dengan jalan meng-ada secara non personal, seperti dalam bentuk sikap enggan, menarik diri, egosentris atau tak memasyarakat, mengaku dirinya telah mati dan menampilkan bentuk-bentuk tingkah laku yang bagi orang lain aneh sehingga akan diberi label skizoprenia.




4.         Teori dan Praktek Psikoterapi
Ada beberapa sistem psikoterapi yang berpendekatan eksistensial yaitu Analisis       Eksistensial, Logoterapi, dan Terapi Radikal.
A.    Analisis Eksistensial
Dalam psikoterapi analisis eksistensial memiliki tujuan ideal yang akan dicapai yaitu meningkatkan kesadaran individu atau menjadi individu yang otentik, dengan harapan agar konseli menyadari asek-aspek dunia maupun dirinya sendiri yang telah ditutupi oleh ketidakotentikan. Dan tujuan kedua meningkatkan kemampuan memilih yaitu memilih alternatif-altenatif tindakan yang mengarahkan pada perbaikan diri.
Para eksistensialis percaya bahwa tiap-tiap individu akan mengalami konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik individu dengan lingkungan dan sebagainya. Dan analisis eksistensial ini diarahkan untuk membantu individu menyelesaikan konflik-konflik yang dialaminya.
Para terapis eksistensial yakin bahwa relasi yang sungguh-sungguh dan terbuka akan menjadikan konseli tidak bisa menyembunyikan cara meng-ada yang tidak otentik dan mekanisme pertahanannya, menyadari kecemasan eksistensialnya serta akan mampu memikul tanggung jawab.

B. Logoterapi
Logoterapi memusatkan perhatian terhadap permasalahan yang menyangkut pencarian manusia kepada makna. Dalam proses terapeutik, logoterapi menekankan kesanggupan konseli untuk memilih alternatif-alternatif tindakan atas perbaikan dirinya sendiri. Teknik terapeutik oleh Frankl disebut intensi paradoksial.
                Berikut ini beberapa contoh penerapan teknik intensi paardoksial :
a)   Kasus hidrofobia yang dialami seorang klien selama 4 tahun, dimana ia selalu merasa gemetar dan keluar keringat tiap kali berjabat tangan dengan atasannya. Frankl mengajukan saran kepada kliennya supaya jika ia bertemu kembali dengan atasannya berusaha secara sengaja mengatakan pada dirinya bahwa ia akan mengeluarkan keringat sebanyak-banyaknya jika  bersalaman dengan atasannya yang sebelumnya hanya sedikit. Dan hasilnya ternyata klien tidak berkeringat sedikitpun saat bersalaman dengan atasannya.
b)      Kasus bakterofobia dan kompulsi mencuci yang dialami ibu rumah tangga ditangani Frankl dengan mengajak ibu tersebut menirukan apa yang dilakukannya dengan menggosok-gosokkan tangan ke lantai dan kemudian berkata, ‘’Lihat, tangan saya menjadi kotor, tetapi saya tidak bisa menemukan banyak bakteri !’’ dan kemudian ibu tersebut mau menirukannya dan selama 5 hari berikutnya gejala-gejala bakterfobia mulai menyusut dan akhirnya hilang sama sekali.
c)      Kasus alkoholisme neurosis yang dialami D.F yang mana dengan minum secara eksesif untuk mengatasi ketidakbermaknaan hidup sekaligus untuk mengatasi gejala gemetaran tangan jika berada di depan orang lain. Dan tidak bisa mengangkat piring atau gelas tanpa menumpahkan isinya jika makan atau minum di depan umum. Gerz menganjurkan D.F agar secara sengaja berhumor menunjukkan gejala-gejala itu   di hadapan orang lain dengan mengatakan ‘’ Lihat, betapa ajaib getaran tanganku.’’ Dan ternyata dia tidak bisa menggetarkan tangannya ketika berhadapan dengan orang lain.
Dari contoh kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan intensi paradoksial individu didorong untuk melakukan sesuatu yang paradoks yakni mendekati sesuatu yang justru ditakutinya dan yang selalu ingin dihindarinya. 
 
C.  Terapi Radikal
 Di dalam terapi radikal ini, relasi terapis dan klien diintefsikan dan tidak dibatasi.       Perlakuan-perlakuan yang dilakukan terapis tidak bersifat simbolis ( terbatas pada pemberian perhatian ) tetapi sampai pada pengertiannya yang harfiah. Sehingga klien yang mengalami regresi akan merasa di lahirkan kembali karena merasa diterima secara sehat oleh figur-figur orang yang ada dalam kehidupannya.

5.    Metode Fenomenologi dan Penelitian-Penelitian
Metode yang mendasari penelitian psikologi eksistensial adalah metode  fenomenologi yang berwujud analisis pengalaman dalam bahasa pengalaman. Untuk menguji kevalidan uraian fenomenologis dapat dilakukan melalui metode intrasubjektif yaitu dengan memperbandingkan uraian-uraian tentang tingkah laku atau pengalaman yang sama yang muncul dalam situasi yang berbeda. Dan apabila antara uraian satu dengan yang lain konsisten maka uraian-uraian tersebut dikatakan valid. Metode ke 2 metode intersubjektif, dimana beberapa orang penyelidik eksistensial membuat uraian tentang suatu fenomena yang sama, jika dari uraian penyelidik satu dengan yang lain sama maka uraian tersebut valid. Validitas juga bisa ditentukan secara eksperimental dengan menguji hipotesis-hipotesis yang ditarik dari analisis fenomenologis.
Untuk memperoleh gambaran mengenai analisis fenomenologis, Boss mengungkapnya melalui analisis mimpi. Menurutnya, mimpi adalah bentuk lain dari meng-ada-dalam-dunia, mimpi harus diterima secara utuh dengan isi dan maknanya dan bukan termasuk dorongan, mekanisme, simbolisme, dan kompensasi-kompensasi yang dikemukakan Freud.
Usaha pengujian atas teori psikologi eksistensial dilakukan oleh Crumbaugh dan Maholick melalui studi berpendekatan psikometrik dengan tujuan menentukan atau memastikan adanya tipe neurosis baru yang disebut neurosis noogenik. Alat ukur atau tes yang digunakan dalam studinya adalah tes PIL, kuesioner Frankl, A-V-L, dan MMPI. Yang ke-2 dengan melakukan studi tentang sikap terhadap kematian yang dikembangkan Herman Feifel. Feifel melaksanakan studinya tentang sikap terhadap kematian dengan menggunakan subjek 315 orang. Dari hasil studinya tersebut terdapat sikap terhadap kematian yang berwujud pemulian yang idealistis terhadap kematian dengan melihat kematian sebagai prasyarat bagi kehidupan yang sejati.

6.      Evaluasi
Terhadap psikologi eksistensial, tokoh-tokoh psikolog behaviorisme menentang dan mengkritiknya dengan keras. Sedangkan pihak yang bersimpati dan mendukung terhadap psikologi eksistensial adalah tokoh-tokoh humanistik.
Kritik-kritik terhadap psikologi eksistensial, pertama karena psikologi eksistensial yang berakar pada filsafat dan tidak menyukai positivisme dan determinisme. Kedua, bahwa psikologi eksistensial adalah psikologi yang tidak ilmiah. Ketiga, bahwa psikologi eksistensial itu antiintelektual karena penggunaan pengetahuan intuitif dan penggunaan bahasa yang puitis dan berselubung. Keempat, kritik yang menyangkut konsep kebebasan yang mejelaskan bahwa manusia itu bebas untuk memilih atau menentukan sendiri tingkah laku yang hendak dan perlu diungkapkan atau tidak diungkapkannya. Kelima, bahwa psikologi eksistensial itu solipsistik atau subjektivistik. Keenam, para tokoh psikologi eksistensial dituduh menyelinapkan agama ke dalam psikologi karena dalam teorinya menggunakan konsep-konsep keagamaan untuk menerangkan keberadaan dan pertumbuhan manusia.
Selain kritik-kritik yang banyak ditujukan bagi psikologi eksistensial, namun ada tokoh-tokoh psikologi lain yang mendukung psikologi eksistensial, yaitu :
a)      Menurut Maslow mempelajari psikologi eksistensial merupakan pengalaman yang menarik dan konstruktif yang memperkaya, meluaskan, dan mempercermat pemikirannya tentang manusia. Berikut ini beberapa kesan Maslow mengenai eksistensialisme :
Ø  Eksistensialisme menyediakan dasar filsafat yang selama ini dalam psikologi dirasakan kurang, karena positivisme logis dinilai telah gagal.
Ø  Inti eksistensialisme yang penting bagi psikologi adalah eksistensialisme membahas aktualitas dan potensialitas manusia.
Ø  Eksistensialisme menghadirkan gambaran ideal dari pertumbuhan manusia yakni pribadi otentik.
Ø  Eksistensialisme banyak mempersoalkan masalah yang justru diabaikan oleh para ahli psikologi, yakni masalah tanggung jawab, konsep keberanian dan kehendak.
Ø  Dsb.
b)      Carl Rogers mengevaluasi psikoterapi yang berpendekatan eksistensial dengan membandingkannya dengan pendekatan psikoterapi behaviorisme yang disebut ‘aliran objektif‘. Terapis dalam psikoterapi yang beraliran objektif memberi penguatan atas pernyataan-pernyataan klien yang mengekspresikan perasaan-perasaan yang positif dari si klien. Sedangkan pada aliran eksistensial terapis tampil sebagai pribadi yang riel sehingga klien bisa menemukan apa yang riel di dalam dirinya sendiri. Dan dari hasil terapi diharapkan klien menjadi pribadi yang otonom yang mampu  meng-ada sebagaimana seharusnya ia meng-ada. Menurut Rogers pada aliran eksistensial lebih mampu menemukan aspek-aspek manusia yang unik dari terapi daripada pendekatan behaviorisme yang terapinya terdiri atas apa yang diketahui dari proses belajar pada hewan.
c)      Gordon Allport
Menurut Allport eksistensialisme telah memperdalam konsep-konsep tentang manusia seperti identitas, pilihan, kematian, tanggung jawab, futuritas, mencapai makna hidup, sehingga dengan demikian eksistensialisme telah merintis jalan kearah terciptanya psikologi manusia yang universal.
Allport memandang bahwa Feifel telah menghadirkan studi yang baik yang melibatkan variabel yang tersisihkan dari psikologi yaitu kematian dan dengan tepat menyebut kematian sebagai relevant variabel. Menurut Allport, pandangan atas kematian itu unik dan individual.




DAFTAR PUSTAKA



Koeswara.E. 1987. Psikologi Eksistensial Suatu Pengantar. Bandung : PT. ERESCO









































Tidak ada komentar:

Posting Komentar